LUBUKLINGGAU- Keluhan para orang tua/wali murid mengenai adanya pungutan di sekolah nampaknya tidak pernah usai. Apakah ini merupakan dampak dari sekolah gratis diterapkan pemerintah? Sebab sejak digulirkan program sekolah gratis mulai SD, SMP hingga SMA khususnya di Provinsi Sumatera Selatan tidak sedikit muncul keluhan dari masyarakat tentang pungutan dana di sekolah.
Berbagai keluhan sering diutarakan masyarakat. Mulai dari pungutan liar Penerimaan Siswa Baru (PSB) pungutan membeli buku, LKS, serta peralatan sekolah lainnya.
Sabtu (26/1) sejumlah orang tua/wali murid mengluhkan masih adanya pungutan diduga dilakukan pihak Madrasah Alia Negeri (MAN) 1 Lubuklinggau. Kali ini, keluhan datang dari salah seorang wali murid MAN 1 Lubuklinggau A Jamaludin.
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Lubuklinggau yang juga Ketua Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) itu kepada Harian Silampari menyampaikan bahwa keponakannya dimintai pungutan Rp 500 ribu.
Dijelaskan Ketua Persatuan Guru Intelek Indonesia Lubuklinggau pihak sekolah berdalih uang sumbangan itu untuk membeli keperluan infokus (proyektor) yang nantinya akan digunakan para pelajar.
Menurut Jamal sapaan A Jamaludin pungutan tersebut terlalu besar untuk kalangan masyarakat Kota Lubuklinggau. Apalagi hanya untuk membeli poyektor.
“Hitung saja, Rp 500 ribu per orang, kalau ada 40 peserta didik berarti Rp 20 juta. Apa harga proyektor semahal itu,” keluh Jamal.
Tidak hanya itu, pungutan Rp 500 ribu kata Jamal hanya untuk kelas biasa. Sedangkan untuk kelas unggulan diminta hingga jutaan rupiah.
Keluhan ini sudah disampaikan kepada pihak sekolah. Bahkan dia juga sudah meminta agar pungutan tersebut dihentikan, karena sangat memberatkan orang tua ataupun wali murid.
Menurut Jamal, permintaanya tersebut tidak digubris sama sekali oleh pihak sekolah. Bahkan pungutan dilakukan pihak sekolah tetap berlanjut. (HS-01)
Berdasarkan Kesepakatan Komite
KEPALA MAN 1 Lubuklinggau, Himarwan pada keterangan pers Minggu (27/1) membenarkan adanya pungutan tersebut. Namun pungutan itu berdasarkan kesepatakan rapat komite sekolah.
“Memang ada, tapi itu hasil keputusan komite sekolah. Yang beli proyektornya juga bukan saya tapi komite sekolah,” tegas Himarwan.
Dikatakanya, seluruh hasil pungutan diserahkan para peserta didiknya kepada komite. Terutama untuk membeli infokus.
Diungkapanya, sebelum melakukan rapat komite sekolah. pihanya sudah menyampaikan Rencana Kerja Madrasah (RKM) baik kepada komite sekolah maupun para orang tua/wali murid yang hadir dalam rapat komite sekolah.
Berdasarkan RKM itulah komite sekolah menyepakati untuk sumbangan. dalam undangan dapat pun disebutkan bahwa bagi orang tua/wali murid yang tidak hadir dalam rapat dianggap setuju dengan apapun keputusan dengan menanda tangani surat tersebut.
" Semuanya ditangai komite sekolah, mulai dari penerimaan uang,sampai membeli keperluan sekolah,"ujarnya
“Bukan saya yang beli infokus, tapi komite sekolah. Karena sudah berdasarkan kesepakatan musyawarah komite sekolah. Kalau mau lebih jelasnya tanya sama ketua komite,” tegasnya lagi.
Himarwan juga mengakui memang pungutan uang hingga jutaan rupiah. Besaran pungutan diminta kepada peserta didik MAN 1 Lubuklinggau bervariasi mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 2,3 juta. Untuk kelas bilingual dimintai Rp 2,3 juta per orang.
Sedangkan ketua Komite MAN 1 Lubuklinggau, Fahrurrozi beberapa kali dihibungi Harian Silampari melalui teleponnya tidak ada jawaban. Bahkan pesan singkat (SMS) dikirim ke nomor Hpya pun tidak dibalas hingga berita naik cetak. (HS-01)
Dewan Akan Koordinasi ke Kemenag
MENYIKAPI adanya pungutan tersebut Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRPD) Kota Lubuklinggau, Taufik Siswanto menegaskan akan segera mengkoordinasikan permasalahan tersebut kepada Kementrian Agama Kota Lubuklinggau.
“MAN 1 Lubuklinggau ini kan dibawah naungan Kemenag, jadi langkah awal kita akan koordinasikan terlebih dahulu,”kata dia.
Menurutnya, meski pungutan tersebut sudah melalui keputusan rapat komite sekolah tidak serta merta bisa menjadi acuan. Sebab dalam rapat komite sekolah tidak seluruh orang tua/wali murid ikut serta.
“Walaupun sudah keputusan rapat komite, tidak bisa juga dijadikan acuan,” ujarnya.
Selain itu kata Taufik, pungutan dipatok Rp 500 untuk membeli proyektor tentu terlalu besar. Sebab harga proyektor tidak terlalu tinggi. Jika benar diberlakukan untuk seluruh peserta didik maka dana yang terkumpul akan lebih besar dari pada harga proyketor.
Sedangkan patokan Rp 2,3 juta untuk kelas bilingual juga dinilai terlalu tinggi. Sebab tidak semua orang tua/wali murid mampu membayar.
“Tidak seluruh masyarakat mampu membayar Rp 2,3 juta , pasti ada yang berasal dari keluarga yang tidak mampu,” sambung Taufik . (HS-01)
Senin, 28 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar